Renjana
Aku ini bodoh
Pengemis rasa di bawah kakimu
Pendamba cinta yang tak pasti
Terikat benci, tak berharga diri
***
Takdir. Sesuatu yang begitu aku
benci. Kejam, namun tak terelakkan.
Selama hidupku, tak pernah sekalipun
aku merasa bersyukur atas rangkaian takdir yang mengikatku. Simpul takdir itu
telah terikat kuat. Dirancang untuk mengekang seluruh hidupku agar terus
berjalan sesuai keinginan-Nya. Ya, Dia. Tuhan.
Sudah begitu lama aku tak meletakkan
harapan dan kepercayaan kepada-Nya. Mungkin sejak untuk pertama kalinya aku
sadar bahwa dunia tak berjalan seperti yang aku kira. Ketika aku sadar bahwa
takdir berkeras untuk memaksaku hidup tanpa orang lain. Bahwa dalam hidup,
tidak peduli sebaik apapun dan seberapa keras upayamu untuk terlihat baik, kau
tetap tak akan bernilai tanpa kerupawanan dan harta sialan itu.
“Menjijikkan!”
Aku
tertawa keras. Kuhabiskan sepanjang hidupku untuk terbiasa dengan kata-kata
itu. Aku sudah kenyang mendengarnya. Ada lebih banyak kata-kata buruk yang
telah diteriakkan orang-orang kepadaku sebelumnya, sehingga butuh upaya yang
lebih keras jika kau ingin merendahkanku. Aku pernah berada di titik terendah.
Mengemis di bawah kaki orang lain. Mengais sisa makanan untuk bertahan hidup
serupa anjing jalanan yang kau tendang malam itu. Tiap hari kuhabiskan waktu
untuk memandang langit dan bermimpi untuk menyecap sedikit saja kebahagiaan.
Sebut hal terburuk yang pernah kau alami. Maka tak akan sebanding dengan aku
yang terus berharap mati namun terlanjur dibohongi takdir.
Hidup bertahun-tahun tanpa orang tua
mengajarkanku untuk tak bergantung pada siapapun. Manusia hanya bisa menyakiti.
Omong kosong yang kalian lontarkan bahwa manusia membutuhkan manusia lain untuk
bertahan hidup semata-mata hanyalah pegangan untuk memuaskan ego masing-masing.
Kalian terlalu takut untuk hidup sendirian, bukan? Karena sesungguhnya kalian
hanyalah sekumpulan pengecut yang terbiasa menjilat demi kepentingan sosial. Kalian
membentuk kasta untuk meninggikan diri. Kemudian menjadi perusak dan pembunuh
namun bertingkah seolah-olah kalianlah korban yang sesungguhnya. Memuakkan.
Karena itu kuputuskan untuk
mengasingkan diri dan tak pernah lagi mendekati kumpulan kalian. Tidak sulit
bagiku untuk hidup sendiri sebab sejak awal ini merupakan ketetapan takdir. Aku
tak paham apa itu kesepian. Namun paham betul bahwa hidup yang kujalani
bukanlah sepenuhnya hidup. Asing akan
keluarga. Kenyang oleh lara.
“Bajingan
sialan!”
Darahku
seakan menggelegak mendapatimu malam itu. Mengendap diam-diam bagai kucing kecil
pencuri ikan, lalu dengan takut bercampur khawatir memeluk keranjangmu untuk
melarikan diri. Kubangun rumah dan taman ini hanya untuk diriku. Duniaku. Dan
beraninya kau menginjakkan kaki untuk mencuri. Kala itu, aku begitu marah. Aku
bersumpah untuk mendapatkanmu dan memberikan sedikit pelajaran untukmu. Tidak
ada ruang di dunia ini bagi manusia rendah sepertimu. Pencuri sialan. Kusumpahi kau menghabiskan hidup di kerak neraka.
Namun tampaknya Tuhan tengah
mempermainkanku. Malam itu, kau datang. Kembali mengendap-endap dengan gaun
serupa. Tampak takut namun juga berani di saat bersamaan dengan memeluk
keranjang persis kemarin malam. Gelap tak menghalangimu. Masih kuingat dengan
jelas sosokmu yang melangkah ragu kala itu, perlahan-lahan memetik bunga lalu
berhenti sejenak untuk mengawasi sekitar. Kau tak pernah mengira bahwa aku
mengawasimu, bukan? Ya. Benakmu tentu terlalu kalut untuk menyadarinya.
Rembulan bisa jadi temaram malam itu, namun sosokmu jelas bersinar di
mataku. Kau begitu memesona. Menarik perhatianku dan memaku langkahku untuk
mendekat. Amarah yang pada awalnya kurasakan entah mengapa surut begitu melihat
senyum bahagiamu usai memetik bunga. Perasaan ini asing. Tak pernah kurasakan
sebelumnya. Jelas kau adalah sesuatu yang harus kuhindari. Manis, sekaligus
berbahaya.
Kau merupakan anomali bagiku.
Semuanya terasa menyimpang ketika aku membiarkanmu pergi dengan membawa
sekeranjang bunga malam itu. Juga ketika aku tak berhenti memikirkanmu dan
mulai meletakkan sedikit harapan untuk kedatanganmu di malam selanjutnya.
Sebelumnya aku tidak pernah bertindak menggunakan hati. Tidak. Aku bahkan tidak
menyadari bahwa aku masih memiliki hati. Tidak biasanya aku menyimpan doa
kepada Tuhan. Dan tidak biasanya pula Tuhan mengabulkan doaku dengan membiarkanmu
datang di malam selanjutnya, hingga seterusnya.
Tak peduli seberapa keras aku menampiknya, perasaan
ini telah terlanjur tumbuh kian membesar. Begitu pelik terasa, namun juga
terasa benar. Seolah-olah kehadiranmu merupakan kepingan jawaban atas doa yang
selama ini terlupakan. Tuhan tentu tengah berpuas hati menertawakan
kebodohanku. Sebab setelah sekian lama berpaling darinya, kini aku kembali
meletakkan harap.
Menunggumu di kala fajar menjadi rutinitas baru yang
kusukai. Mengagumimu dari kejauhan. Membayangkan betapa aku ingin berdiri di
sampingmu. Atau bahkan sekadar ikut tersenyum melihat kebahagiaan sederhanamu
mendengar siul burung kala memetik bunga. Ah, barangkali kau penasaran, alasan
mengapa taman itu terus ditumbuhi bunga yang berbeda tiap musimnya adalah aku.
Lambat laun kusadari bahwa kau menjual bunga-bunga itu demi bertahan hidup.
Karena itulah kubiarkan kau leluasa memetik bunga-bunga itu dan menjualnya demi
bertahan hidup.
Aku telah memberikanmu milikku. Membiarkanmu
memasuki duniaku bahkan membantu
meringankan beban hidupmu. Lantas apakah itu menjadikan aku pantas untukmu? Jika
memang bahagia sesederhana itu, mungkinkah aku bisa ikut merasakan kebahagiaan
itu bersamamu?
“Kau...
menyedihkan!”
Menyedihkan? Kembali aku tertawa keras. Kali ini
merasa lucu sekaligus miris. Namun juga begitu pahit. Hingga menimbulkan luapan
kebencian yang entah tertuju pada siapa.
Kau tak jauh berbeda dengan manusia lain. Bukankah
memalukan bagimu untuk membayangkan bahwa diriku yang tak pantas ini menyimpan
perasaan untukmu? Kau memandangku rendah bagai anjing jalanan itu, bukan?
Kehadiranku sama sekali tak memiliki arti bagimu. Kenyataan pun seakan
menamparku. Bahwa selama ini hanya aku yang mencintai. Perasaan bodoh itu
membutakan, menenggelamkan akal sehatku, membuaiku percaya pada keyakinan bahwa
kau pun memiliki perasaan yang sama.
Semuanya terasa begitu indah di awal. Tapi mengapa
kini berbalik menjadi mimpi buruk yang bahkan tak pernah berani kubayangkan?
“Sakit..,” lirihku. Rasa perih perlahan terus
menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Gelap bersiap merengkuh, namun tak lantas
mengurungkan niatku untuk menggapaimu. Inikah yang kau rasakan? Perih ini begitu
kuat terasa hingga membuatku kehilangan akal.
Pandangan kita pun bertemu untuk kesekian kalinya. Wajahmu
tak lagi menunjukkan perih seakan-akan kau telah pasrah menerima. Kupeluk
dirimu. Erat, hingga terasa tubuhmu yang bergetar menghadapi takdir. ”Maaf aku
telah mengotori gaunmu.” Bisikku kemudian, disambut deru napasmu yang
terputus-putus. “Sudah sejauh ini. Kita pasti akan bahagia. Aku akan
membahagiakanmu.”
Saat ini langit malam terlihat begitu indah. Bintang
ikut bersinar seolah ingin menyempurnakan temaramnya rembulan. Kompak
memancarkan sinar perak ke seluruh bagian sisi taman. Taman ini semula suram.
Kesunyian menyesakinya hingga sampai pada titik dimana sepi adalah ketetapan. Kupikir
kehadiranmu bisa mengubahnya. Kau begitu terang menyilaukan, begitu berharga. Kau
adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaanku. Sebuah keyakinan tertanam di diriku
bahwa bersamamu merupakan tujuan hidupku. Kau adalah tujuan akhirku. Rumah terakhirku.
Lantas ketika aku dihadapkan oleh kenyataan yang
menyakitkan, bahwa aku harus merelakanmu, apakah aku akan menyerah? Tentu saja
tidak. Akan kubuat takdir yang mengalah. Bukan lagi aku. Kau harus paham bahwa
apa yang telah kulakukan ini adalah demi kebahagian kita berdua. Kau boleh
sebut aku menjijikkan, menyedihkan, lelaki sial. Tetap tak akan mengurangi
kenyataan bahwa tanpaku, kau tak akan bisa hidup. Membiarkanmu pergi bukanlah
sebuah pilihan yang tepat. Aku tidak
merampas hidupmu. Tapi aku telah memberikanmu kehidupan baru.
“Kita akan bahagia,” ucapku kemudian, serupa janji
yang terucap hanya demi pembenaran sebuah tindakan. Entah sudah berapa lama,
namun tanganmu sudah tak lagi terasa hangat. Tubuhmu tak lagi bergetar.
Sementara angin malam sudah semakin dingin, mengeringkan cairan kental yang
bersimbah hampir di seluruh gaunmu. Kuelus pipimu yang pucat, meninggalkan noda
merah akibat cairan serupa yang tak hentinya mengaliri pergelangan tanganku.
Sumber keperihan yang sejak tadi kutahan. Namun juga merupakan jalan yang telah
kupilih atas hidupku dan hidupmu.
Pandanganku pun mulai mengabur. Terganti oleh kelam
yang menyesakkan. Sesaat, kurasakan dunia ikut menahan napas. Sunyi. Seakan
ingin mengamati diriku di detik terakhir kehidupan. Saat ini, di tengah kondisi
hidup dan mati, sulit bagiku untuk menyadari bahwa malam telah mencapai puncak.
Bukan hanya hari, hidupku pun akan berakhir kali ini. Satu pertanyaan pun
tiba-tiba terlintas di benakku.
Akankah ada yang berubah?
Akankah aku bisa
benar-benar bahagia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar