RENJANA (Mahasiswa Berkarya : Cerpen) - PublicMagz

PublicMagz

Majalah Online Himanistik

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Post Top Ad

Responsive Ads Here

Jumat, 12 Maret 2021

RENJANA (Mahasiswa Berkarya : Cerpen)

 

Renjana

Karya : Natasya Risky Pramesti  (AP'19)


***

Aku ini bodoh

Pengemis rasa di bawah kakimu

Pendamba cinta yang tak pasti

Terikat benci, tak berharga diri

 

***

            Takdir. Sesuatu yang begitu aku benci. Kejam, namun tak terelakkan.

            Selama hidupku, tak pernah sekalipun aku merasa bersyukur atas rangkaian takdir yang mengikatku. Simpul takdir itu telah terikat kuat. Dirancang untuk mengekang seluruh hidupku agar terus berjalan sesuai keinginan-Nya. Ya, Dia. Tuhan.

            Sudah begitu lama aku tak meletakkan harapan dan kepercayaan kepada-Nya. Mungkin sejak untuk pertama kalinya aku sadar bahwa dunia tak berjalan seperti yang aku kira. Ketika aku sadar bahwa takdir berkeras untuk memaksaku hidup tanpa orang lain. Bahwa dalam hidup, tidak peduli sebaik apapun dan seberapa keras upayamu untuk terlihat baik, kau tetap tak akan bernilai tanpa kerupawanan dan harta sialan itu.

            “Menjijikkan!”

            Aku tertawa keras. Kuhabiskan sepanjang hidupku untuk terbiasa dengan kata-kata itu. Aku sudah kenyang mendengarnya. Ada lebih banyak kata-kata buruk yang telah diteriakkan orang-orang kepadaku sebelumnya, sehingga butuh upaya yang lebih keras jika kau ingin merendahkanku. Aku pernah berada di titik terendah. Mengemis di bawah kaki orang lain. Mengais sisa makanan untuk bertahan hidup serupa anjing jalanan yang kau tendang malam itu. Tiap hari kuhabiskan waktu untuk memandang langit dan bermimpi untuk menyecap sedikit saja kebahagiaan. Sebut hal terburuk yang pernah kau alami. Maka tak akan sebanding dengan aku yang terus berharap mati namun terlanjur dibohongi takdir.

            Hidup bertahun-tahun tanpa orang tua mengajarkanku untuk tak bergantung pada siapapun. Manusia hanya bisa menyakiti. Omong kosong yang kalian lontarkan bahwa manusia membutuhkan manusia lain untuk bertahan hidup semata-mata hanyalah pegangan untuk memuaskan ego masing-masing. Kalian terlalu takut untuk hidup sendirian, bukan? Karena sesungguhnya kalian hanyalah sekumpulan pengecut yang terbiasa menjilat demi kepentingan sosial. Kalian membentuk kasta untuk meninggikan diri. Kemudian menjadi perusak dan pembunuh namun bertingkah seolah-olah kalianlah korban yang sesungguhnya. Memuakkan.

            Karena itu kuputuskan untuk mengasingkan diri dan tak pernah lagi mendekati kumpulan kalian. Tidak sulit bagiku untuk hidup sendiri sebab sejak awal ini merupakan ketetapan takdir. Aku tak paham apa itu kesepian. Namun paham betul bahwa hidup yang kujalani bukanlah sepenuhnya hidup. Asing akan keluarga. Kenyang oleh lara.   

            “Bajingan sialan!”

            Darahku seakan menggelegak mendapatimu malam itu. Mengendap diam-diam bagai kucing kecil pencuri ikan, lalu dengan takut bercampur khawatir memeluk keranjangmu untuk melarikan diri. Kubangun rumah dan taman ini hanya untuk diriku. Duniaku. Dan beraninya kau menginjakkan kaki untuk mencuri. Kala itu, aku begitu marah. Aku bersumpah untuk mendapatkanmu dan memberikan sedikit pelajaran untukmu. Tidak ada ruang di dunia ini bagi manusia rendah sepertimu. Pencuri sialan. Kusumpahi kau menghabiskan hidup di kerak neraka.

            Namun tampaknya Tuhan tengah mempermainkanku. Malam itu, kau datang. Kembali mengendap-endap dengan gaun serupa. Tampak takut namun juga berani di saat bersamaan dengan memeluk keranjang persis kemarin malam. Gelap tak menghalangimu. Masih kuingat dengan jelas sosokmu yang melangkah ragu kala itu, perlahan-lahan memetik bunga lalu berhenti sejenak untuk mengawasi sekitar. Kau tak pernah mengira bahwa aku mengawasimu, bukan? Ya. Benakmu tentu terlalu kalut untuk menyadarinya.

              Rembulan bisa jadi temaram malam itu, namun sosokmu jelas bersinar di mataku. Kau begitu memesona. Menarik perhatianku dan memaku langkahku untuk mendekat. Amarah yang pada awalnya kurasakan entah mengapa surut begitu melihat senyum bahagiamu usai memetik bunga. Perasaan ini asing. Tak pernah kurasakan sebelumnya. Jelas kau adalah sesuatu yang harus kuhindari. Manis, sekaligus berbahaya.

            Kau merupakan anomali bagiku. Semuanya terasa menyimpang ketika aku membiarkanmu pergi dengan membawa sekeranjang bunga malam itu. Juga ketika aku tak berhenti memikirkanmu dan mulai meletakkan sedikit harapan untuk kedatanganmu di malam selanjutnya. Sebelumnya aku tidak pernah bertindak menggunakan hati. Tidak. Aku bahkan tidak menyadari bahwa aku masih memiliki hati. Tidak biasanya aku menyimpan doa kepada Tuhan. Dan tidak biasanya pula Tuhan mengabulkan doaku dengan membiarkanmu datang di malam selanjutnya, hingga seterusnya.

Tak peduli seberapa keras aku menampiknya, perasaan ini telah terlanjur tumbuh kian membesar. Begitu pelik terasa, namun juga terasa benar. Seolah-olah kehadiranmu merupakan kepingan jawaban atas doa yang selama ini terlupakan. Tuhan tentu tengah berpuas hati menertawakan kebodohanku. Sebab setelah sekian lama berpaling darinya, kini aku kembali meletakkan harap.

Menunggumu di kala fajar menjadi rutinitas baru yang kusukai. Mengagumimu dari kejauhan. Membayangkan betapa aku ingin berdiri di sampingmu. Atau bahkan sekadar ikut tersenyum melihat kebahagiaan sederhanamu mendengar siul burung kala memetik bunga. Ah, barangkali kau penasaran, alasan mengapa taman itu terus ditumbuhi bunga yang berbeda tiap musimnya adalah aku. Lambat laun kusadari bahwa kau menjual bunga-bunga itu demi bertahan hidup. Karena itulah kubiarkan kau leluasa memetik bunga-bunga itu dan menjualnya demi bertahan hidup.

Aku telah memberikanmu milikku. Membiarkanmu memasuki duniaku bahkan membantu meringankan beban hidupmu. Lantas apakah itu menjadikan aku pantas untukmu? Jika memang bahagia sesederhana itu, mungkinkah aku bisa ikut merasakan kebahagiaan itu bersamamu?

“Kau... menyedihkan!”

Menyedihkan? Kembali aku tertawa keras. Kali ini merasa lucu sekaligus miris. Namun juga begitu pahit. Hingga menimbulkan luapan kebencian yang entah tertuju pada siapa.

Kau tak jauh berbeda dengan manusia lain. Bukankah memalukan bagimu untuk membayangkan bahwa diriku yang tak pantas ini menyimpan perasaan untukmu? Kau memandangku rendah bagai anjing jalanan itu, bukan? Kehadiranku sama sekali tak memiliki arti bagimu. Kenyataan pun seakan menamparku. Bahwa selama ini hanya aku yang mencintai. Perasaan bodoh itu membutakan, menenggelamkan akal sehatku, membuaiku percaya pada keyakinan bahwa kau pun memiliki perasaan yang sama.

Semuanya terasa begitu indah di awal. Tapi mengapa kini berbalik menjadi mimpi buruk yang bahkan tak pernah berani kubayangkan?

“Sakit..,” lirihku. Rasa perih perlahan terus menjalar ke seluruh bagian tubuhku. Gelap bersiap merengkuh, namun tak lantas mengurungkan niatku untuk menggapaimu. Inikah yang kau rasakan? Perih ini begitu kuat terasa hingga membuatku kehilangan akal.

Pandangan kita pun bertemu untuk kesekian kalinya. Wajahmu tak lagi menunjukkan perih seakan-akan kau telah pasrah menerima. Kupeluk dirimu. Erat, hingga terasa tubuhmu yang bergetar menghadapi takdir. ”Maaf aku telah mengotori gaunmu.” Bisikku kemudian, disambut deru napasmu yang terputus-putus. “Sudah sejauh ini. Kita pasti akan bahagia. Aku akan membahagiakanmu.”

Saat ini langit malam terlihat begitu indah. Bintang ikut bersinar seolah ingin menyempurnakan temaramnya rembulan. Kompak memancarkan sinar perak ke seluruh bagian sisi taman. Taman ini semula suram. Kesunyian menyesakinya hingga sampai pada titik dimana sepi adalah ketetapan. Kupikir kehadiranmu bisa mengubahnya. Kau begitu terang menyilaukan, begitu berharga. Kau adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaanku. Sebuah keyakinan tertanam di diriku bahwa bersamamu merupakan tujuan hidupku. Kau adalah tujuan akhirku. Rumah terakhirku.

Lantas ketika aku dihadapkan oleh kenyataan yang menyakitkan, bahwa aku harus merelakanmu, apakah aku akan menyerah? Tentu saja tidak. Akan kubuat takdir yang mengalah. Bukan lagi aku. Kau harus paham bahwa apa yang telah kulakukan ini adalah demi kebahagian kita berdua. Kau boleh sebut aku menjijikkan, menyedihkan, lelaki sial. Tetap tak akan mengurangi kenyataan bahwa tanpaku, kau tak akan bisa hidup. Membiarkanmu pergi bukanlah sebuah pilihan yang tepat. Aku tidak merampas hidupmu. Tapi aku telah memberikanmu kehidupan baru.

“Kita akan bahagia,” ucapku kemudian, serupa janji yang terucap hanya demi pembenaran sebuah tindakan. Entah sudah berapa lama, namun tanganmu sudah tak lagi terasa hangat. Tubuhmu tak lagi bergetar. Sementara angin malam sudah semakin dingin, mengeringkan cairan kental yang bersimbah hampir di seluruh gaunmu. Kuelus pipimu yang pucat, meninggalkan noda merah akibat cairan serupa yang tak hentinya mengaliri pergelangan tanganku. Sumber keperihan yang sejak tadi kutahan. Namun juga merupakan jalan yang telah kupilih atas hidupku dan hidupmu.

Pandanganku pun mulai mengabur. Terganti oleh kelam yang menyesakkan. Sesaat, kurasakan dunia ikut menahan napas. Sunyi. Seakan ingin mengamati diriku di detik terakhir kehidupan. Saat ini, di tengah kondisi hidup dan mati, sulit bagiku untuk menyadari bahwa malam telah mencapai puncak. Bukan hanya hari, hidupku pun akan berakhir kali ini. Satu pertanyaan pun tiba-tiba terlintas di benakku.

Akankah ada yang berubah?

Akankah aku bisa benar-benar bahagia?

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Responsive Ads Here