BINTANG
Oleh
: Muhammad Alfiandri (Mahasiswa AP'20)
Aku duduk di samping jendela, di bawah sinar lampu yang
temaram. Mencoba untuk memandang langit yang gelap, namun hanya ada rembulan
yang memantulkan sebagian dari cahaya matahari. Tak ada bintang yang terlihat.
Semua bersembunyi dibalik awan, barangkali malu untuk kulihat, kataku
dalam hati seraya tersenyum. Semilir angin malam berhembus, seolah meniupkan udara
pada wajahku dengan lembut. Awan bergerak perlahan, memberikan seni tersendiri
di kegelapan malam. Ah, ternyata ada satu bintang di balik awan. Senyum
kemudian tersungging di bibirku. Ya Rabb, ternyata setitik cahaya pun bisa
memberikan keindahan yang luar biasa diantara luasnya langit gelap di malam
hari. Seandainya saja ketika membuka jendela aku memandang langit dan tak
menemukan bintang, kemudian tak mencoba menatap awan tapi menutup jendela
kembali, mungkin aku tak akan menemukan bintang yang tersembunyi di balik awan.
Sama seperti setitik bintang di kegelapan malam,
terkadang kita tak menyadari ada cahaya kecil dalam malam gelap yang kita beri nama
“bintang”. Betapa indahnya cahaya itu walaupun tak bisa menerangi malam. Tapi lain
halnya ketika kita melihat ada setitik noda di atas kain putih yang membentang.
Kita justru terfokus pada noda yang kecil, dan seolah lupa betapa bersihnya
kain itu terlepas dari setitik noda yang ada. Yang mungkin saja bisa hilang
hanya dengan sedikit detergent pemutih. Itulah hidup, kadang-kadang kita lupa
untuk memandang sesuatu dari sisi lain yang dimiliki.
Aku memiliki seorang murid yang kupikir kecerdasannya
kurang menonjol dibanding murid lain. Suatu hari kami tengah membicarakan
sistem tata surya. Murni hanya sebagai pengetahuan bahwa bumi merupakan salah
satu planet dalam sistem tata surya yang menjadi tempat tinggal manusia. Muridku
itu, sebut saja namanya Rimba, tiba-tiba berdiri dan mengambil helm milik guru
lain yang disimpan di atas loker dalam ruang kelas kemudian memakainya. Tanpa
sadar aku berkata kepadanya, ”Wah, teman-teman. Lihat! Rimba sedang memakai
helm, seperti astronot yang mau terbang ke bulan ya…”
Semua teman-temannya langsung memandang ke arah Rimba.
Sementara Rimba hanya tersenyum dan spontan melepas helmnya dan dikembalikan ke
tempat semula. Kemudian aku mengajak mereka untuk menggambar roket di atas kertas
putih yang tersedia. Dan hasilnya, sungguh mengagumkan, murid yang kupikir
kecerdasannya kurang menonjol itu justru menggambarnya dua tingkat lebih tinggi
dibanding murid yang kupikir paling pandai di kelas.
Seandainya saja saat itu aku memberikan reaksi yang lain seperti ”Rimba, silakan dikembalikan helmnya karena sekarang saatnya kita belajar”, atau ”Maaf, silakan dikembalikan helmnya karena Rimba belum minta izin Bu Guru”, atau yang lainnya, mungkin aku tidak akan pernah tahu bahwa kecerdasan dia sudah lebih dari apa yang aku sangka. Karena pembahasan hari itu bukan tentang astronot ataupun roket.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar